Filosofi Pendidikan
Pendidikan bisa saja
berawal dari sebelum bayi lahir seperti dilakukan banyak orang dengan memainkan
musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia bisa mengajar
bayi mereka sebelum kelahiran.
Bagi sebagian orang,
pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal.
Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam, sering kali
lebih mendalam dari yang disadari mereka, walaupun pengajaran anggota keluarga
berjalan secara tidak resmi.
Fungsi Pendidikan
Menurut Horton dan Hunt,
lembaga pendidikan berkaitan dengan fungsi yang nyata (manifes).
Mempersiapkan anggota masyarakt untuk mencari nafkah, fungsi laten
lembaga sebagai wadah pendidikan, melalui pendidikan di sekolah orang tua
melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah.
Sekolah memiliki potensi
untuk menanamkan nilai pembangkangan di masyarakat. Hal ini tercermin dengan
danya perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal,
misalnya pendidikan seks dan sikap terbuka.
Pendidikan sekolah
diharapkan dapat mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima
perbedaan prestise, privilese, dan status yang ada dalam masyarakat. Memilih
dan mengajarkan peranan sosila.
Jangan katakan Anda
cinta dan peduli dengan pendidikan di Indonesia jika belum membaca kisah ini. Kisah dan
pengalaman DR Rhenald Kasali mengenai dunia pendidikan. Berikut kisah lengkap pengalaman DR Rhenald Kasali mengenai pendidikan. Jangan lupa untuk membaca
Lima belas tahun lalu
saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar
di Amerika Serikat.Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak
saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna,
hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai
belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah
ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas.
Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.
Saya memintanya
memperbaiki kembali, sampai dia menyerah. Rupanya karangan itulah yang
diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji.
Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah
diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya
protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari
mana?” “Dari Indonesia,” jawab saya. Dia pun tersenyum.
Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan
sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara
saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
“Saya mengerti,” jawab
ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali
saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di
sini,”lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi
kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang
agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun
mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba
dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini
adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang
dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak
dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.
Saya teringat betapa
mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program
master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi
jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam.
Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang
sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian
dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak
ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu
jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan
seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji,
menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.
Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan.
Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang
duduk di bangku ujian.
Ketika seseorang penguji
atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah,
tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada
udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa
menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat
tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan
discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan
pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata
belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.
Ada semacam balas dendam
dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak
didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis
karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena
mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat
kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.
Kembali ke pengalaman
anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya.
“Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
“Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan,
namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang
mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah
memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah
telah menunjukkan kemajuan yang berarti.” Malam itu saya mendatangi anak saya
yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di
tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.
Dia pernah protes saat
menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan
“gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Melahirkan Kehebatan
Bisakah kita mencetak
orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak
mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan
pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan
keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu
satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan
berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat
kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di
lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat.
Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak
statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat
dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat
tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang
pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh. Tetapi juga ada orang yang
tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.
Mari kita renungkan dan
mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah
orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang
menakut-nakuti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar